Showing posts with label Islam. Show all posts
Showing posts with label Islam. Show all posts

Pengertian Zakat Fitrah

Pengertian Zakat Fitrah - Secara bahasa, zakat berasal dari kata ىكز" – ىكزي – " ةاكزلا yang berarti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji.

Dalam buku Pedoman Zakat, zakat menurut bahasa berarti nama (kesuburan), thah ̅rah (kesucian), barakah (keberkahan), dan juga tazkiyahtathh ̅r (mensucikan). 

Dalam Kamus Al-Kautsar zakat berarti tumbuh bertambah, berkembang. Jadi zakat menurut bahasa dapat diartikan bahwa harta yang telah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, tumbuh, berkah, terpuji, subur, bertambah dan berkembang.

Menurut istilah, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu. Dalam kitab Kifayah al-Akhyar, zakat adalah nama dari sejumlah harta tertentu yang diberikan kepada golongan tertentu dengan syarat tertentu. Dalam kitab Fath al-Qarib, zakat adalah nama bagi suatu harta tertentu menurut cara-cara yang tertentu kemudian diberikan kepada sekelompok orang yang tertentu pula.

Dalam kitab Fath al-Mu‟in, zakat adalah nama sesuatu yang dikeluarkan (diamlbil) dari harta atau badan dengan ketentuan tertentu.

Berbagai definisi tentang zakat diatas dapat disimpulkan bahwa zakat adalah sejumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang Islam untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syara‟.

Pengertian Zakat Fitrah

Pengertian zakat fitrah menurut bahasa berasal dari fi‟il madhi yakni fatara yang berarti menjadikan, membuat, mengadakan, dan bisa berarti berbuka dan makan pagi. 

Dalam Kamus Pengetahun Islam Lengkap, fitrah berarti membuka atau menguak, bersih dan suci, asal kejadian, keadaan yang suci dan kembali ke asal, naluri semula manusia yang mengakui adanya Allah SWT sebagai pencipta alam.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, zakat fitrah adalah zakat yang wajib diberikan oleh tiap orang Islam setahun sekali pada hari raya Idul Fitri yang berupa makanan pokok sehari-hari (beras, jagung, dsb).

Menurut istilah, zakat fitrah adalah zakat yang dikeluarkan oleh seorang muslim dari sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan untuk mensucikan jiwanya serta menambal kekurangan-kekurangan yang terdapat pada puasanya seperti perkataan yang kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya.

Zakat fitrah mempunyai fungsi antara lain fungsi ibadah, fungsi membersihkan orang yang berpuasa dari ucapan dan perbuatan yang tidak bermanfaat, dan memberikan kecukupan kepada orang-orang miskin pada hari raya Idul Fitri.

Beberapa definisi zakat fitrah diatas dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah adalah zakat pribadi yang diwajibkan atas diri setiap Muslim yang memiliki syarat-syarat tertentu yang ditunaikan pada bulan Ramadhan sampai menjelang shalat Idul Fitri yang berfungsi untuk membersihkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat selama bulan puasa.

Sumber:
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Jilid II, Beirut-Libanon: Dar Sader, 1990, hlm. 35.

Sekian uraian tentang Pengertian Zakat Fitrah, semoga bermanfaat.

Pengertian Ghibah

Dari Abu Huroiroh bahwsanya Rosulullah bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah SWT dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi SAW berkata : “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi SAW ditanya: Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya ? Nabi SAW menjawab : “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.

Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud:
Dari Hammad dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan”

Pengertian Ghibah
Dari hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah: ”Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang seandainya dia tahu maka dia akan membencinya”. Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia goib (tidak hadir). Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan goib (tidak hadir dihadapan engkau), oleh karena itu saudaramu) yang goib tersebut disamakan dengan mayat, karena si goib tidak mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan sebagaimana si goib juga tidak mengetahui gibah yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya ”.

Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu itu : “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.

Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”….maka Nabi SAW berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” 

Dari ‘Aisyah beliau berkata : Aku berkata kepada Nabi SAW: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata :”’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek”. Maka Nabi SAW berkata :”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya”

Dari Jarir bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki kemudian dia berkata: ”Dia lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata :”Aku mohon ampunan dari Allah ”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki itu”.

Adapun pada nasab misalnya engkau berkata :”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain. Adapun pada akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”, “Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu tempramental”. Adapun pada agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia pendusta”, “Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim, tidak mengeluarkan zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau sholat”, “Dia tidak berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain. Adapun pada perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata : “Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtirom kepada manusia”, “Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.

Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid berkata :Telah menyampaikan kepada kami Touf bin Wahbin, dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata :”Aku melihat engkau sedang sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka dia berkata :”Pergilah ke tabib fulan, mitalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain) karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang pertama)”. Kemudian dia berkata : “Aku mohon ampun kepada Allah SWT, menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)”.

Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :

‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang seseorang pada Nabi SAW”. Maka Nabi pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian”

Termasuk ghibah yaitu seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata :”Si fulan telah berkata demikian-demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan mencelanya. Maka hal ini adalah harom. Jika si penulis menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang ‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.

Demikian pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya berkata : “Telah berkata suatu kaum -atau suatu jama’ah- demikian-demikian…, dan pendapat ini merupakan kesalahan atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran dan semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika kita menyebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau jama’ah tertentu.

Ghibah itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya seperti isyarat dengan perkataan atau isyarat dengan mata atau bibir dan lainnya, yang penting bisa dipahami bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain. Diantaranya yaitu jika seseorang namanya disebutkan di sisi engkau lantas engkau berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menjaga kita dari sifat pelit”, atau “Semoga Allah melindungi kita dari memakan harta manusia dengan kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang mendengar perkataan engkau itu faham bahwasanya berarti orang yang namanya disebutkan memiliki sifat-sifat yang jelek.13 Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau tidak hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkan engkau ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek orang yang disebutkan namanya tadi.

Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?

Berkata As-Shon’ani : “Dan perkataan Rosulullah (dalam hadits Abu Huroiroh di atas)(saudaramu) yaitu saudara seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”. Berkata Ibnul Mundzir :”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya”.

Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?

Berkata As-Shon’ani : “ Dan pada perkataan Rosulullah SAW Ù‡رْÙƒÙŠ اÙ…ِب (dengan apa yang dia banci), menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yang kita ghibahi tersebut) tidak membencinya aib yang ditujukan kepadanya, seperti orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila, maka ini bukanlah ghibah”.

Berkata Syaikh Salim Al-Hilal :”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang harom, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah SWT:ِ Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent) yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu)”.


Sumber:
Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain.

Sekian uraian tentang Pengertian Ghibah, semoga bermanfaat.

Pengertian Zakat Menurut Para Ahli

Apa Itu Zakat? | Menurut Bahasa (lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10) 

Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy).

Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah. 
 

Penyebutan Zakat dan Infaq dalam Al Qur-an dan As Sunnah a. Zakat (QS. Al Baqarah : 43)
b. Shadaqah (QS. At Taubah : 104)
c. Haq (QS. Al An'am : 141)
d. Nafaqah (QS. At Taubah : 35)
e. Al 'Afuw (QS. Al A'raf : 199)
 
Hukum Zakat Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.

Macam-macam Zakat

a. Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah.
b. Zakat Maal (harta).
 
Syarat-syarat Wajib Zakat a. Muslim
b. Aqil
c. Baligh d. Memiliki harta yang mencapai nishab



Sekian pengertian zakat, semoga artikel ini dapat bermanfaat..

Pengertian Riba Menurut Para Ahli

Apa Itu Riba? |Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.


Ada beberapa  penjelasan tentang riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.


Riba menurut para ahli fiqih dari beberapa madzhab
Golongan Hanafiah memberikan ta’rif bahwa riba adalah kelebihan atau tambahan yang kosong dari ganti dengan standar syar’i yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang bertransaksi dalam tukar menukar (Ibnu Abidin 4/176 dan apa-apa yang sesudahnya, dan ta’rif ini juga bagi al-Tamrutasy dalam Tanwir al-Abshar dan dalam al-Ikhtiyar 2/30), dikatakan juga bahwa riba di dalam syara’ adalah pengertian dari suatu akad yang rusak dengan sifat sama saja di dalamnya ada tambahan atau tidak ada tambahan.


Karena menjual beberapa dirham dengan beberapa dinar secara utang walaupun tidak ada tambahan, hukumnya riba. 
Penjelasan: A pinjam dari B Rp 1.000.000, B meminjamkan dengan pengembalian Rp 1.200.000. Rp 1.000.000 dari B kepada A sebagai pinjaman dan Rp 1.000.000 dari A kepada B sebagai pengembalian, berarti ada gantinya yang senilai. Tetapi tambahan pengembalian dari A sebesar Rp 200.000 kepada B, tidak ada gantinya dari B kepada A senilai uang tersebut (kosong dari ganti). 

Transaksi ini riba dan haram.
Golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa riba adalah transaksi atas dasar adanya imbalan tertentu yang tidak diketahui persamaannya dalam standar syara’ pada saat bertransaksi atau bersamaan dengan mengakhirkan dua gantinya atau salah satu gantinya (Mughni al-Muhtaj 2/21).

Contoh: menukar padi di sawah dengan padi yang sudah kering 1 ton, dengan perhitungan kira-kira kurs-nya itu ada penurunan 20 persen. Tetapi persamaannya tidak diketahui dengan pasti. Hukumnya adalah riba. 
Golongan al-Hanabilah memberikan ta’rif bahwa riba adalah adanya kelebihan/tambahan dalam segala sesuatu dan penggemukan dalam segala sesuatu, dikhususkan dengan segala sesuatu yang syara’ datang mengharamkannya yakni mengharamkan riba di dalamnya secara nash untuk sebagiannya dan mengharamkannya secara kias untuk sebagian lainnya (Kasysyafu al-Qina’ 3/251, Mathalibu uli al-nuha 3/157).

Golongan al-Malikiyah memberikan ta’rif tiap-tiap macam riba secara sendiri-sendiri (Kifayatu al-Thalib al-Rabany 2/99 dan lainnya).

Ada beberapa lafadz yang berhubungan dengan riba. 
1. Al-bai’
Al-bai’ secara bahasa adalah masdar dari baa'a arti asalnya: pertukaran harta dengan harta dan umum digunakan dalam arti “transaksi” secara majaz, karena al-bai’ menjadi sebab kepemilikan. Al-baai’ umum digunakan juga atas tiap-tiap satu dari dua orang yang bertransaksi (al-baai’ bisa diartikan penjual dan bisa diartikan pembeli pen.). Tetapi kata-kata al-baai’ ketika disebut secara bebas yang paling cepat bisa diterima oleh pikiran artinya ialah “orang yang memberikan barang” dan al-bai’ jika disebut secara bebas bisa diartikan “barang dagangan” dan bisa dikatakan: ini dagangan yang bagus (al-Mishbahu
al-Munir hal. 69). 
Menurut istilah, al-Qolyuby memberikan ta’rif al-bai’ adalah transaksi tukar menukar harta yang memberi faedah kepemilikan suatu benda/barang atau manfaat untuk selamanya bukan karena adanya tujuan taqarrub (Hasyiah Qolyuby 2/152 dan al-Mausu’ah 22/50). Pada dasarnya jual beli hukumnya halal dan riba hukumnya haram.

2. Al-‘araaya
Al-‘ariyah secara bahasa adalah pohon kurma yang oleh pemiliknya diberikan kepada orang lain agar memakan buahnya yang masih segar, atau pohon kurma yang dimakan buahnya yang masih ada di atas pohon. Jama’nya al- ‘araaya dikatakan juga makna al-‘ariyah adalah memakan buah kurma yang masih segar (al-Mishbah al-Munir dan kamus al-Muhit).

Adapun golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa al-‘ariyah adalah menjual kurma basah di atas pohon dibayar dengan kurma kering di atas bumi atau menjual anggur basah di atas pohon dibayar dengan anggur kering di atas bumi yang jumlahnya kurang dari lima wasak (1 wasak = 60 sho’, 1 sho’ = 2,7 kg pen.), sesuai dengan taksiran persamaannya (Syarhu al-minhaj lil Mahally 2/238, al-Mausu’ah 9/91).
Di dalam bai’ araya ada unsur riba dan syubhat yang ada dalam al-muzabanah tetapi jual beli araya itu diperbolehkan secara nash, di antaranya:
 
Dari Sahal bin Abi Hatsmah dia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli kurma dibayar dengan kurma, dan beliau memberi kemurahan dalam urusan ariyah dijual dengan taksirannya, keluarganya memakan kurma basah dari ariyah (H.R. al-Buhari, al-Fathu 4/387 cet. Al-salafiyah, dan Muslim 3/1170 cet. 

al-Halaby, dan lafadz kedua bagi Muslim). Di dalam lafadz lain: dari jual beli buah dengan kurma dan dia berkata: riba yang demikian itu al-muzabanah hanya saja bolehnya jual beli ariyah itu sah berdasarkan nash yaitu satu pohon dua pohon yang diambil oleh ahli rumah diganti dengan kurma kering, mereka memakan kurma basah (dari jual beli aariyah) sesuai taksirannya (Nail al- Author 5/226).

Sekian pengertian riba, semoga artikel ini dapat bermanfaat..

Pengertian Hadist

Pengertian Hadits
Hadits adalah; Apa saja yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (sikap diam setuju) dsb.

Dalam definisi di atas hadits mencakup empat hal, yaitu; Perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat-sifat atau keadaan Nabi saw. Hadits dikenal juga dengan istilah-istilah lain, seperti; al Khabar, al Atsar dan as Sunnah.
Kedudukan Hadits dalam IslamAl Sunnah atau al Hadits memiliki dua fungsi, yaitu sebagai;

a. Mubayyin.
Yaitu sebagai penjelas hal-hal yang disebutkan secara global dan umum dalam al Qur’an. Seperti; penjelasan tentang tatacara shalat, puasa, haji dsb. dan mengecualikan hal-hal yang umum dalam al Qur’an, seperti; Ahli Warits yang berhak menerima warits. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an:
..Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. QS an Nahl:
44.
 
b. Sumber Hukum tersendiri
As Sunnah sebagai sumber hukum tersendiri dalam hal-hal yang tidak dibahas dalam al Qur’an baik secara global maupun terperinci, seperti; hukum haramnya menikahi dengan polygami ponakan dan bibinya, haramnya binatang yang bertaring, bercakar dsb.
berdasarkan:
a. Al Qur’an:
Sebagaimana firman Allah SWT:
ْHai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS an Nisa; 59

Dan firmanNya:
.. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya. QS al Hasyr: 7
 
b. Al Hadits:
Sebagaiman sabda Rasulullah SAW:
Ingatlah sesungguhnya aku diberi al Kitab dan (wahyu) sebangsanya bersamanya. Akan datang (suatu masa) ada seorang laki-laki yang kekenyangan diatas sofanya memberi fatwa kepada kalian dengan al Qur’an ini (semata). Maka apa saja yang kalian dapatkan dalam al Qur’an dari yang halal maka halakanlah, dan apa yang kalian temukan di dalamnya dari yang haram maka haramkanlah. Ingatlah tidak halal buat kalian keledai piaraan dan setiap yang bertaring dari binatang buas dan barang yang tercecer milik seorang kafir mu’ahad kecuali jika dia merelakannya..HR Abu Daud dari Abdurrahman bin Auf.

Demikian juga taqrir Rasulullah saw terhadap Muadz ibn Jabal ketika beliau bertanya; jika ternyata tidak ada (yang bisa kamu rujuk) dalam al Qur’an? Dia menjawab: Aku akan merujuk kepada as Sunnah..


Demikianlah pembahasan mengenai pengertian hadist, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua..

Pengertian Pondok Pesantren Menurut Para Ahli

Pengertian Pondok Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik (Zarkasy, 1998: 106).

Lebih jelas dan sangat terinci sekali Madjid (1997 : 19-20) mengupas asal usul perkataan santri, ia berpendapat ”Santri itu berasal dari perkataan ”sastri” sebuah kata dari Sansekerta, yang artinya melek huruf, dikonotasikan dengan kelas literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Kemudian diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur'an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama. Juga perkataan santri berasal dari bahasa Jawa ”cantrik” yang berarti orang yang selalu mengikuti guru kemana guru pergi menetap (istilah pewayangan) tentunya dengan tujuan agar dapat belajar darinya mengenai keahlian tertentu.

Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam arti kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan menekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa Arab ”FundÅ©q” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu (Zarkasy, 1998: 105-106).
Pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji, biasanya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya.
Pengertian pondok pesantren secara terminologis cukup banyak dikemukakan para ahli. Beberapa ahli tersebut adalah:
  1. Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. 
  2. Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam. 
  3. Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku Pola Pembelajaran Pesantren mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi antara kiai dan ustdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok) untuk mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu. Dengan demikian, unsur terpenting bagi pesantren adalah adanya kiai, para santri, masjid, tempat tinggal (pondok) serta buku-buku (kitab kuning). 
  4. Rabithah Ma‟ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi meneruskan risalah Muhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan Ahlu al-sunnah wa al- Jamã’ah ‘alã T}arîqah al-Maz|ãhib al-‘Arba’ah. 
  5. Mastuhu (1994: 6) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. 
  6. Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan (leadership) seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.
Sedangkan pesantren tradisional merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya (Asrohah, 1999 : 59).

Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santri agar bisa mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitab kuning sebagai sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan.

Pengertian Pondok Pesantren Menurut Para Ahli

Sumber:
Dhofier, Zamakhasyari. 1994. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Sekian uraian tentang Pengertian Pondok Pesantren Menurut Para Ahli, semoga bermanfaat.

Pengertian Akad Mudharabah Menurut Para Ahli

Pengertian Akad Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, bararti memukul atau berjalan, pengertian memukul atau barjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dengan menjalankan usaha.

Secara teknis al Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal apabila kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggunga jawab atas kerugian tersebut.

Dalam literatur fiqh Mudharabah adalah kontrak antara dua pihak dimana satu pihak yang disebut rob al-mal (Investor) mempercayakan uang kepada pihak kedua, yang disebut mudharib, unntuk tujuan menjalankan usaha dagang. Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan di tanggung sendiri oleh investor.

Menurut Imam Saraksi, salah seorang pakar perundangan Islam yang dikenal dalam kitabnya “Al Mabsut” telah memberikan devinisi mudharabah dan keterangan sebagai berikut. Perkataan mudharabah adalah diambil dari perkataan “qard” (usaha) diatas bumi. Dinamakan demikian karena mudharib (pengguna modal orang lain) berhak untuk bekerjasama bagi hasil atas jerih payah dan usahanya. Selain mendapatkan keuntungan ia juga berhak berhak untuk mempergunakan madal dan menentukan tuuanya sendiri. 

Menurut istilah Syarak, mudharabah dikenal sebagai suatu akad atau perjanjian atas sekian uang untuk di pertindakan oleh amil (pengusaha) dalam perdagangan, kemudian keuntungan dibagikan diantara keduanya menurut syarat-syarat yang di tetapkan terlebih dahulu, baik dengan sama rata maupun dengan kelabihan yang satu atas yang lain. 

Pengertian Akad Mudharabah Menurut Para Ahli

Dalam transaksi dengan prinsip mudharabah harus dipenuhi dengan rukun mudharabah yang meliputi:
  1. Shahibul maal atau rabul maal (pemilik dana atau nasabah), 
  2.  Mudharib (pengelola dana atau pengusaha atau bank), 
  3. Amal (usaha atau pekerjaan), 
  4. Ijab Qobul.27
Demikianlah pembahasan mengenai pengertian Akad Mudharabah Menurut Para Ahli, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terima kasih...

Pengertian dan Status Nikah Siri

|Pengertian dan Status Nikah Siri| Kata “sirri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Ara, yang arti harfiyahnya, “rahasia” (secret marriage). Menurut Terminologi fiqh Maliki, nikah sirri ialah : Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga setempat”. Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya bisa dikenakan hukuman had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. 

Demikian juga Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak membolehkan nikah sirri. Menurut Madzhab Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. Menurut suatu riwayat, khalifah Umar bin al-Khatthab pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukum had. Istilah sirri sebenarnya berarti sesuatu yang bersifat rahasia atau tertutup.

Namun dalam perkembangan kemudian, dikalangan umum ada beberapa persepsi/asumsi yang memaknai perkawinan sirri sebagai berikut :
  1. Perkawinan siri adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa menggunakan wali atau saksi yang dibenarkan oleh syariat Islam. Menurut para ulama mereka sepakat bahwa perkawinan jelas ini adalah perkawinan yang tidak sah dan bahkan disamakan dengan perizinan sebagaimana hadist nabi yang berbunyi “bahwa suatu pernikahan yang tidak menghadirkan empat pihak maka termasuk zina, empat pihak itu adalah suami, wali dan dua orang saksi yang adil.
  2. Perkawinan siri yakni perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa melibatkan petugas pencatatan perkawinan atau dapat juga dikatakan tidak dicatat oleh pencatat sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 22 PP No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UUP, Pasal 8 UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam pengertian ini sebenarnya telah sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan. Dalam pengertian ini sebenarnya telah sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan. Cuma saja perkawinan tersebut tidak dicatatkan oleh pegawai Pencatat Nikah (PPN) ataukah KUA.
Dari pembagian perkawinan siri di atas, hanya perkawinan yang versi pertama dapat dikatakan sebagai perkawinan siri dimana perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan berdasarkan hukum Islam. Dan terhadap perkawinan demikian dalam kacamata undang-undang perkawinan, syarat materilnya tidak terpenuhi. Artinya perkawinan tersebut karena tidak memenuhi syarat dan rukun nikah berarti sudah otomatis dianggap tidak pernah ada. Dan lagi-lagi berdasarkan hukum Islam anak yang lahir dari perkawinan siri tersebut dikategorikan sebagai anak zina. Dalam kasus yang seperti ini sama sekali tidak dapat lagi dilakukan pencatatan perkawinan, atau melalui pengesahan nikah, karena memang sedari awal perkawinan itu batal demi hukum. 

Beda halnya dengan perkawinan siri ini jenis kedua. Dan saya sendiri menganggap bahwa perkawinan jenis tersebut bukan kategori perkawinan siri. Oleh karena sudah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Kalau ditarik dari maksud Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan (UUP). Perkawinan tersebut telah dilaksanakan sebagai perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing yaitu agama Islam. Perkawinan yang telah dilaksanakan menurut syarat dan rukun nikah adalah perkawinan yang sah. Sehingga lebih tepat kalau kita mengatakan adalah perkawinan sah yang tersembunyi. Oleh karena belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Terlepas dari konsekuensi bahwa dengan tidak adanya dampak hukum bagi salah satu pihak. Dengan tidak adanya pencatatan, misalnya isteri tidak dapat memiliki kekuatan legitimasi untuk mendapatkan nafkah dari suaminya jika suatu waktu terjadi perceraian. Demikian halnya juga anak dari hasil perkawinan itu. Oleh negara dan hukum positif kita menganggap tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sah sehingga sang anak dapat memperoleh warisan dari anaknya. Karena hukum dimana-mana memerlukan pembuktian otentik.

Permasalahan tersebut, perihal tidak adanya kekuatan legitimasi bagi istri, hukum sudah memberikan ruang untuk melakukan pencatatan meskipun perkawinan sudah lama berlangsung, Undang-undang memberikan solusi dengan dibukanya peluang permintaan ‘itsbat’ nikah ke Pengadilan Agama. Yaitu permohonan agar pernikahan tersebut (tidak dicatatkan/tidak punya akte nikah) dinyatakan sah, dan selanjutnya diperintahkan kepada PPN/KUA kecamatan setempat untuk mencatat perkawinan semacam ini dan memberikan kutipan Akta Nikah berdasarkan keputusan Pengadilan Agama. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 7 ayat 2-4 Kompilasi Hukum Islam. Selain itu, ketentuan ini juga dimuat dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 Pasal 3 ayat 5 dan Pasal 31 ayat 3 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990. 

Sumber:
Ad-Duraiwsy,Yusuf, Nikah Siri Mut’ah & Kontrak, Jakarta, Darul Haq, 2010.

 
Gambar
Pengertian dan Status Nikah Siri

Sekian uraian tentang Pengertian Dan Status Nikah Siri, Semoga bermanfaat...!   

Pengertian Hibah Menurut Hukum Islam

Pengertian Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup. Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh karena pada dasarnya seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada siapapun.

Adapun Menurut Asaf A. A. FyzeePengertian Hibah ialah penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan. Selanjutnya diuraikan dalam Kitab Durru'l Muchtar memberikan definisi Hibah sebagai pemindahan hak atas harta milik itu sendiri oleh seseorang kepada orang lain tanpa pemberian balasan.


Salah satu syarat dalam hukum waris untuk adanya proses pewarisan ialah adanya seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Sedangkan dalam hibah itu sendiri, seseorang pemberi hibah itu harus masih hidup pada waktu pelaksanaan pemberian.


Di dalam Hukum Islam dipebolehkan untuk seseorang memberikan atau menghadiahkan sebagain atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain disebut "intervivos". Pemberian semasa hidup itu sering disebut sebagai 'hibah".  Di dalam hukum islam Jumlah Harta seseorang yang dapat dihibahkan itu tidak dibatasi. Berbeda halnya dengan pemberian seseorang melalui surat wasiat yang terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan yang bersih.


Berkaitan dengan Hibah ini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :

  • Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakuka oleh penghibah ketika hidupnya untuk memberikan sesuatu barang dengan cuma-cuma kepada penerima hibah.;
  • Hibah harus dilakukan antara dua orang yang masih hidup;
  • Hibah harus dilakukan dengan akta notaris, apabila tidak menggunakan akta notaris, maka hibah dinyatakan batal;
  • Hibah antara suami dan isteri selama dalam perkawinan dilarang, kecuali jika yang dihibahkan itu benda-benda bergerak yang harganya tidak terlampau mahal.

Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal melakukan Hibah Menurut Hukum Islam, yaitu :
  1. Ijab, adalah pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang meberikan;
  2. Qabul, ialah pernyataan dari pihak yang menerima pemberian hibah itu;
  3. Qabdlah, merupakan penyerahan milik itu sendiri, baik penyerahan dalam bentuk yang sebenarnya maupun secara simbolis.
Hibah Menurut Hukum Islam dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dalam Hukum Islam, pemberian yang berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis". Namun jika ditemukan bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian tersebut dapat dinyatakan secara tertulis. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis, bentuk tersebut terdapat dua macam yaitu :
  1. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan bahwa telah terjadinya pemberian;
  2. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat tersebut merupakan suatu alat dari penyerahan pemberian itu sendiri. Artinya, apabila penyerahan dan pernyataan terhadap benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang demikian itulah yang harus didaftarkan.
Seseorang yang hendak menghibahkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya semasa hidupnya, menurut Hukum Islam harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut 
  1. Orang tersebut harus sudah dewasa.
  2. Harus waras akan pikirannya.
  3. Orang tersebut haruslah sadar dan mengerti tentang apa yang diperbuatnya.
  4. Baik Laki-laki maupun perempuan diperbolehkan melakukan hibah.
  5. Perkawinan bukan merupakan suatu penghalang untuk melakukan hibah.
Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan menerima hibah, sehingga hibah dapat saja diberikan kepada siapapun dengan beberapa pengecualian sebagai berikut :
  1. Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah dari anak di bawah umur atau orang yang tidak waras itu;
  2. Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur yang diwakili oleh saudaranya yang laki-laki atau oleh ibunya, hibah menjadi batal;
  3. Hibah kepada seseorang yang belum lahir juga batal.
Pada dasarnya segala macam harta benda yang dapat dijadikan hak milik dapat dihibahkan, baik harta pusaka maupun harta gono-gini seseorang. Benda tetap maupun bergerak dan segala macam piutang serta hak-hak yang tidak berwujud itu pun dapat dihibahkan oleh pemiliknya.

Demikianlah pembahasan mengenai pengertian hibah menurut hukum islam, semoga tulisan saya mengenai pengertian hibah menurut hukum islam dapat bermanfaat.

Sumber :

Eman Suparman, 2011. Hukum Waris Indonesia. Yang Menerbitkan PT Refika Aditama : Bandung.


Gambar Pengertian Hibah

Pengertian Ijtihad Menurut Ahli

|Pengertian Ijtihad Menurut Para Ahli|

| Pengertian Ijtihad | Ijitihad menurut Hanafi adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara') melalui salah satu dalil syara' dan dengan cara-cara tertentu. Selanjutnya para pakar yang lain memberikan pendapatnya mengenai pengertian ijtihad di bawah ini.

Pengertian Ijtihad Menurut Yusuf Qardlawi adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Penggunaan kata ijtihad hanya terhadap masalah-masalah penting yang memerlukan banyak perhatian dan tenaga.

Menurut Al-AmidiPengertian Ijtihad ialah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara' yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.

Imamal-Gazali mengungkapkan, Pengertian Ijtihad merupakan upaya maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syarak.

Zuhdi mengatakan, Pengertian Ijtihad ialah mengerahkan segenap kemampuan berpikir untuk mencari dan menetapkan hukum-hukum Syara' dari dalil-dalilnya yang tafshily.

Menurut Para Sahabat Pengertian Ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul, baik melalui suatu nash, yang disebut "qiyas" (ma'qul nash) maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syariat, yang disebut "maslahat".

Pengertian Ijtihad Menurut Mayoritas Ulama Ushul ialah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhann mengenai sesuatu hukum syara', ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad yaitu untuk mengeluarkan hukum syara' amaliy statusnya zhaanny. Dengan demikian Ijtihad tidak berlaku dibidang akidah dan akhlak.

Adapun Minoritas Ulama UshulPengertian Ijtihad adalah pengerahan segala kekuatan untuk mencari hukum sesuatu peristiwa dalam nash Al-qUran dan Hadits shahih. 


Demikianlah Pembahasan mengenai Pengertian Ijtihad Menurut Para Pakar, semoga tulisan saya mengenai Pengertian Ijtihad Menurut Para Pakar dapat bermanfaat.

Sumber: Buku dalam Penulisan Pengertian Ijtihad Menurut Para Ahli:

- M. Arifin Hamid, 2011. HUKUM ISLAM Perspektif Keindonesiaan. Yang Menerbitkan PT Umitoha Ukhuwah Grafika: Makassar.



Gambar. Pengertian Ijtihad Menurut Ahli

Pengertian Fiqih Menurut Para Ahli

| Pengertian Fiqih | Pada kesempatan akan dibahas mengenai Pengertian Fiqih Menurut Para Ahli. Tentu kita bertanya apakah itu fiqih ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka di bawah ini akan dibahas mengenai fiqih secara terperinci.


Pengertian Fiqih Menurut Para Ahli, sebagai berikut :

Pengertian Fiqih Menurut Ashshiddieqy adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara' yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshily.

Menurut FyzeePengertian Fiqih ialah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagaimana diketahui dari Al-Qur'an atau Assunnah, atau yang disimpulkan dari keduanya atau tentang apa yang kaum cerdik (pandai) telah sepakati.

Budiman Mengatakan Pengertian Fiqih merupakan ilmu pengetahuan hukum yang hanya mencakup bidang amaliyah saja dan pengetahuan hukum itu bersumber dari ijtihad.

Pengertian Fiqih menurut Hanafi adalah mengetahui hukum-hukum syara' yang mengenai perbuatan dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqih ialah ilmu yang dihasilkan dari pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan pemikiran dan perenungan.

Menurut AgnidesPengertian Fiqih yaitu ilmu yang mengambil hukum syariah dari bukti-bukti syariah (dalam hal ini yang dimaksud bukti syariah : Alquran, Sunnah rasul, Ijma dan Qias).

Rosyada mengatakan Pengertian Fiqih ialah mengetahui hukum-hukum Syara' yang bersifat amaliah yang di kaji dari dalil-dalilnya yang terinci.

Dari Pengertian Fiqih Yang dikemukan oleh Para Ahli diatas sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Pengertian Fiqih adalah memahami sesuatu secara mendalam atau sebagai ilmu pengetahuan. Berdasarkan Pengertian-pengertian fiqih tersebut, maka fiqih dapat diartikan sebagai hukum-hukum yang digali dari Al-qur'an dan Sunnah Nabi dengan jalan mempergunakan faham atau ijtihad yang sempurna dan dengan perenungan yang mendalam.

Demikianlah Pembahasan mengenai Pengertian Fiqih Menurut Para Ahli, semoga tulisan saya mengenai Pengertian Fiqih Menurut Para Pakar dapat bermanfaat.

Sumber : Buku dalam Penulisan Pengertian Fiqih :

-  Arfin Hamid, 2011. HUKUM ISLAM Perspektif Keindonesiaan. Yang menerbitkan PT Umitoha Ukhuwa Grafika: Makassar.


Gambar. Pengertian Fiqih Menurut Ahli