Aliran filsafat Pendidikan Modern Ditinjau Dari Ontologi,
Epistemologi Dan Aksiologi
A. Pengertian Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Ontologi berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya: apakah hakikat dibalik alam nyata ini. Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi pancaindra kita.
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia (salam, 1988:19). Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada muridmuridnya (Muhammad Noor Syam, 1986:32).
Sedangkan aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan apakah yang baik atau bagus itu. Dalam definisi yang lain aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji manusia dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia. Untuk selanjutnya nilai-nilai tersebut ditanamkan dalam kepribadian anak (Ibid, 1986:95).
B. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Modern
1. Aliran Progesivisme
Aliran progesivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam semua realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian (Muhammad Noor Syam, 1987:228-229).
2. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan ciricirinya beda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran pendidikan ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan dan toleran, dan tidak ada keterkaitannya dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama , yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991:21).
3. Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktis bagi kebudayaan dan pendidikan pada zaman sekarang ( Muhammad Noor Syam, 1986:296).
4. Aliran Rekontruksionisme
Aliran rekontruksionisme merupakan aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Hubungan Antara Filsafat, Manusia Dan Pendidikan
A. Teori Kebenaran menurut Pandangan Filsafat dalam bidang Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
1. Ontologi
Ontologi sering diidenfikasi dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto filsafat atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada dibumi dengan tenaga-tenaga yang dilangit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga.
Di dalam pendidikan, pandangan ontologi secara praktis akan menjadi masalah yang utama. Sebab anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Anak-anak, baik di masyarakat maupun sekolah, selalu dihadapkan pada realita, objek pengalaman, benda mati, benda hidup dan sebagainya. Membimbing anak untuk memahami realita dunia dan membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal pada realita itu merupakan tahap pertama sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran itu. Dengan sendirinya, potensi berpikir kritis anak-anak untuk mengerti kebenaran itu telah dibina. Di sini kewajiban pendidik ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis.
2. Epistemologi
Epistemologi didefenisikan sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan filsafat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta realitas umum dari tuntunan pengetahuan sebenarnya. Epistemologi ini adalah nama lain dari logika material atau logika mayor yang membahas isi pikiran manusia, yakni pengetahuan ( Dardini, 1986:18).
Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui benda-benda. Untuk lebih jelasnya ada beberapa contoh pertanyaan yang menggunakan kata “tahu” dan mengandung pengertian yang berbeda-beda baik sumbernya maupun validitasnya.
- Tentu saja saya tahu ia sakit, karena saya melihatnya;
- Percayalah, saya tahu apa yang saya bicarakan;
- Kami tahu mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya (Ali, 1993:50).
3. Aksiologi
Aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua , esthetic expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosiopolitik (Muhammad Noor Syam, 1986: 34-36).
Nilai dan implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan suatu bernilai baik itu bukanlah hal yang mudah. Apalagi menilai secara mendalam dalam arti untuk membina kepribadian ideal. Berikut ini beberapa contoh yang dapat kita pergunakan untuk menilai seseorang itu baik, yaitu:
- Baik, bu. Saya akan selalu baik dan taat kepada ibu!.
- Nak, bukankah ini bacaan yang baik untukmu?.
- Baiklah, Pak. Aku akan mengamalkan ilmuku.
B. Pandangan Filsafat tentang Hakikat Manusia
Ilmu yang mempelajari hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas. Pertama, aliran serba zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalaha unsur dari alam maka dari itu manusia adalah zat atau materi (Ibid, 1991).
Kedua aliran serba-ruh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh. Sementara adalah manifestasi dari ruh. Menurut fiche, segala sesuatu yang ada (selain ruh) dan hidup ini hanyalah perumpamaan, perubahan, atau penjelmaan dari ruh ( Gazalba, 1992:288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Missal: betapapun kita mencintai seseorang , jika ruhnya terpisah dari badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya lagi. Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan. Ketiga, aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua subtansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serbadua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat keduanya saling mempengaruhi. Keempat aliran eksitensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksitensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut serba-zat atau serba-ruh atau dualisme, tetapi dari segi eksitensi manusia di dunia ini.
C. Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia
Sistem merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang bergabung menjadi suatu keseluruhan. Nilai akan selalu muncul bila manusia mengadakan hubungan social atau bermasyarakat dengan manusia lain.
a. Pengertian nilai
Dalam Ensiklopedia Britanica disebutkan, bahwa nilai itu merupakan suatu penetapan atau suatu kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi. Nilai merupakan hasil kreativitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan sosial, baik itu berupa cinta, simpati, dan lain-lain.
b. Bentuk dan tingkat-tingkat nilai
Menurut Burbecher, nilai itu dibedakan dalam dua bagian, yaitu nilai instrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk yang lain. Nilai instrinsik adalah yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain , melainkan di dalam dirinya sendiri.
Sementara menurut aliran realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaan bila dihayati oleh subjek tertentu dan bagaimana sikap subjek tersebut.
Adapun tingkat perkembangan nilai menurut Auguste Comte, itu terbagi menjadi tiga, yaitu tingkat teologis, tingkat metafisik, dan tingkat positif. Tingkat teologis adalah tingkat pertama, selanjutnya tingkat metafisik, dan sebagai tingkat yang paling atas adalah apabila manusia telah menguasai pengetahuan eksakta yang berarti manusia telah mencapai tingkat positif (Mohammad Noor Syam, 1986:132). Pada umumnya masyarakat menganut pendapat bahwa hierarki nilai dalam kehidupan manusia itu identik dengan hierarki tingkat-tingkat kebenaran , sebab kebenaran ialah nilai itu sendiri.
c. Nilai-nilai pendidikan dan tujuan pendidikan
Menurut Muhammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal. Tujuan pendidikan, baik itu pada isinya ataupun rumusannya, tidak mungkin kita tetapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Untuk menetapkan tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan seperti:
- Pendekatan melalui analisis historis lembaga-lembaga sosial;
- Pendekatan melalui analisis ilmiah tentang realita kehidupan aktual;
- Pendekatan melalui nilai-nilai filsafat yang normatif.
Sedangkan menurut aristoteles, tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan sesuai dengan tujuan didirikannya suatu Negara (Rapar, 1988:40). Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa
nilai pendidikan bisa dilihat dari tujuan pendidikan yang ada.
d. Etika jabatan
Kewajiban mendidik merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia. Yang jelas kaum professional ialah mereka yang telah menempuh pendidikan relative cukup lama dan mengalami latihan-latihan khusus. Oleh karena itulah, dalam pendidikan seorang guru harus mempunyai asas-asas umum yang universal yang dapat dipandang sebagai prinsip umum, seperti:
- Melaksanakan kewajiban dasar good will atau itikad baik, dengan kesadaran pengabdian;
- Memperlakukan siapa pun, anak didik sebagai pribadi yang sama dengan pribadinya sendiri;
- Menghormati perasaan tiap orang;
- Selalu berusaha menyumbangkan ide-ide, konsepsi,-konsepsi dan karya-karya (ilmiah) demi kemajuan bidang kewajibannya;
- Akan menerima haknya semat-semata sebagai kehormatan.
D. Pandangan Filsafat tentang Pendidikan
Secara sederhana, filsafat pendidikan adalah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan adalah jiwa, ruh dan kepribadian sistem kependidikan nasional, karenanya sistem pendidikan nasional wajarlah dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila, citra, dan karsa bangsa kita, atau tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia yang tersimpul dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasila.
Ada beberapa unsur yang dapat dijadikan tonggak untuk pengembangan pendidikan lebih lanjut meliputi:
- Dasar dan tujuan
- Pendidikan dan perserta didik
- Kurikulum
- Sistem pendidikan
Filsafat Pendidikan Pancasila
A. Pancasila sebagai Filsafat Hidup Bangsa
Dalam ketetapan MPR Nomor 11/MPR/178, Pancasila adalah jiwa dan seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan bangsa Indonesia dan dasar Negara. Sangatlah wajar kalau pancasila dikatakan sebagai filsafat hidup bangsa karena, menurut Muhammad Noor Syam (1983:346), nilai-nilai dasar dalam sosio budaya Indonesia hidup dan berkembang sejak awal peradabannya, yang meliputi:
- Kesadaran ketuhanan dan kesadaran keagamaan secara sederhana;K
- Kesadaran kekeluargaan, dimana cinta dan keluarga sebagai dasar dan kodrat terbentuknya masyarakat dan sinambungnya generasi;
- Kesadaran musyawarah mufakat dalam menetapkan kehendak bersama;
- Kesadaran gotong royong, tolong menolong
- Kesadaran tenggang rasa, atau tepa slira, sebagai semangat kekeluargaan dan kebersamaan; hormat menghormati dan memelihara kesatuan, saling pengertian demi keutuhan kerukunan dan kekeluargaan dalam kebersamaan.
Nilai-nilai yang tergantung dalam Pancasila tersebut sudah berabad lamanya mengakar pada kehidupan bangsa Indonesia, karena itu Pancasila dijadikan sebagai falsafah hidup bangsa.
B. Pancasila Sebagai Filsafat Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan yang dialami sekarang merupakan hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa di masa lalu. Pendidikan tidak berdiri sendiri, tapi selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, ingin menciptakan manusia Pancasila. Pada tahun 1959, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk menjaga agar arah pendidikan tidak menuju pembentukan manusia liberal yang dianggap sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia( Depdikbud, 1993:79). Kemudian atas instruksi menteri Pengajaran dan Kebudayaan (PM), Prof.DR. Priyono mengeluarkan instruksi yang dikenal dengan nama ”Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana” yang isinya antara lain bahwa Pancasila merupakan asas Pendidikan nasional.
Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi bangsa yang dianut. Karena sistem pendidikan nasional Indonesia dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila. Sementara cita dan karsa bangsa kita, tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia, tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasila. Cita dan karsa ini dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, dan pandangan hidup Pancasila. Inilah alasan mengapa filsafat pendidikan pancasila merupakan tuntutan nasional, sedangkan filsafat pendidikan Pancasila adalah subsistem dari sistem Negara pancasila. Dengan kata lain, sistem Negara pancasila wajar tercermin dan dilaksanakan di dalam berbagai subsistem kehidupan bangsa dan masyarakat.
C. Hubungan Pancasila dengan Sistem Pendidikan Ditinjau dari Filsafat Pendidikan
Pancasila adalah dasar Negara Indonesia yang merupakan fungsi utamanya dan dari segi materinya digali dari pandangan hidup dan kepribadian bangsa (Dardodiharjo, 1988: 17). Pancasila merupakan dasar negara yang membedakan dengan bangsa lain.
Filsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran sesuatu. Sementara filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang kependidikan berdasarkan filsafat. Bila kita hubungkan fungsi Pancasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan maka dapat kita jabarkan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa yang menjiwai sila-silanya dalam kehidupan sehari-hari. Dan untuk menerapkan sila-sila Pancasila, diperlukan pemikiran yang sungguh-sungguh mengenai bagaimana nilai-nilai Pancasila itu dapat dilaksanakan. Dalam hal ini tentunya pendidikanlah yang berperan utama.
D. Filsafat Pendidikan Pancasila dalam tinjauan ontologi, Epistemologi,dan Aksiologi
1. Ontologi
Ontologi adalah bagian dari filsafat yang menyelidiki tentang hakikat yang ada. Menurut Muhammad Noor Syam (1984:24), ontologi kadang-kadang disamakan dengan metafisika; sebelum manusia menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu.
Pancasila sebagai filsafat , ia mempunyai abstrak umum dan universal. Yang dimaksud isi yang abstrak disini bukannya Pancasila sebagai filsafat yang secara operasionalkan telah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, melainkan sebagai pengertian pokok yang dipergunakan untuk merumuskan masimg-masing sila.
a. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama menjiwai sila-sila yang lainnya. Di dalam sistem pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan sila pertama ini kita diharapkan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk menjadikan manusia beriman dan bertakwa kepada Allah. Karena itu, di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat ditanamkan nilainilai keagamaan dan Pancasila.
b. Sila kedua, Kemanusian yang adil dan beradab
Manusia yang ada di muka bumi ini mempunyai harkat dan martabat yang sama, yang diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan fitrahnya sebagai hamba Allah (Darmodiharjo, 1988:40).
Pendidikan tidak membedakan usia, agama dan tingkat sosial budaya dalam menuntut ilmu. Setiap manusia memilki kebebasan dalam menuntut ilmu, mendapat perlakuan yang sama, kecuali tingkat ketakwaan seseorang. Pendidikan harus dijiwai Pancasila sehingga akan melahirkan masyarakat yang susila, bertanggung jawab, adil dan makmur baik spiritual maupun material, dan berjiwa Pancasila. Dengan demikian sekolah harus mencerminkan sila-sila dari Pancasila.
c. Sila ketiga, Persatuan Indonesia
Sila ketiga ini tidak membatasi golongan dalam belajar. Ini berarti bahwa semua golongan dapat menerima pendidikan, baik golongan rendah maupun golongan tinggi, tergantung kemampuannya untuk berpikir, sesuai dengan UUD 145 pasal 31 ayat 1.
d. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan/Perwakilan.
Sila keempat ini sering dikaitkan dengan kehidupan demokrasi. Dalam hal ini, demokrasi sering diartikan sebagai kekuasaan di tangan rakyat. Bila dilihat dari dunia pendidikan , maka hal ini sangat relevan , karena menghargai orang lain demi kemajuan. Di samping itu, juga sesuai dengan UUD 1945 pasal 28 yang menyatakan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan. Jadi dalam menyusun pendidikan, diperlukan ide-ide dari orang lain demi kemajuan pendidikan.
e. Sila kelima, Keadilan sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dalam sistem pendidikan nasional, maksud adil dalam arti yang luas mencakup seluruh aspek pendidikan yang ada. Adil di sini adil dalam melaksanakan pendidikan: antara ilmu agama dan umum itu seimbang; disamping mengejar IMTEK, kita juga mengejar IMTAQ yang merupakan tujuan dari ibadah. Adil juga dalam arti sempit di kelas, pendidik tidak boleh membedabedakan siswa.
2. Epistemologi
Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan benda-benda, epistemologi dapat juga berarti bidang filsafat yang menyelidiki sumber, syarat, proses terjadinya ilmu pengetahuan, batas validitas, dan hakikat ilmu pengetahuan. Dengan filsafat kita dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai demi peningkatan ketenangan dan kesejateraan hidup, pergaulan dan berwarga Negara. Untuk itu Indonesia telah menemukan filsafat Pancasila.
a. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
Pancasila lahir tidak secara mendadak , tetapi melalui proses panjang. Pancasila digali dari bumi Indonesia yang merupakan dasar Negara, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, tujuan dan arah untuk mencapai cita-cita dan perjanjian luhur rakyat Indonesia (Widjaya, 1985:176-177). Dengan demikian, Pancasila bersumber dari bangsa Indonesia yang prosesnya melalui perjuangan rakyat. Bila kita hubungkan dengan Pancasila maka dapat kita ketahui bahwa apakah ilmu itu didapat melalui rasio atau datang dari Tuhan.
b. Sila kedua, Kemanusian yang Adil dan Beradab
Manusia itu mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Pancasila adalah ilmu yang diperoleh melalui perjuangan yang sesuai dengan logika. Dengan mempunyai ilmu moral, diharapkan tidak lagi dan kesewenang-wenangan manusia terhadap yang lain. Tingkat kedalaman pengetahuan merupakan perwujudan dari potensi rasio dan intelegensi yang tinggi.
c. Sila ketiga, Persatuan Indonesia
Proses terbentuknya pengetahuan manusia merupakan hasil dari kerja sama atau produk hubungan dengan lingkungannya. Potensi dasar dengan faktor kondisi lingkungan yang memadai akan membentuk pengetahuan. Dalam hal ini, sebagai contohnya adalah ilmu sosiologi yang mempelajari hubungan manusia yang satu dengan lainnya IKIP Malang, 1983:59). Dalam hubungan antar manusia itu diperlukan suatu landasan yaitu Pancasila. Dengan demikian, kita terlebih dahulu mengetahui ciri-ciri suatu masyarakat dan bagaimana terbentuknya masyarakat.
d. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
Manusia diciptakan Allah sebagai pemimpin di muka bumi ini untuk memakmurkan umat manusia. Seorang pemimpin mempunyai syarat untuk memimpin dengan bijaksana. Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan memang mempunyai peranan sangat besar, tapi tidak menutup kemungkinan peran keluarga dan masyarakat dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Jadi dalam hal ini diperlukan suatu ilmu keguruan untuk mencapai guru yang ideal, guru yang kompeten. Setiap manusia bebas mengeluarkan pendapat dengan melalui lembaga pendidikan. Setiap ada permasalahan diselesaikan dengan jalan musyawarah agar mendapat kata mufakat.
e. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ilmu pengetahuan sebagai perbendaharaan dan prestasi individu serta sebagai karya budaya umat manusia merupakan martabat kepribadian manusia (Ibid :63). Dalam arti luas, adil di atas dimaksudkan seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini didapatkan melalui pendidikan, baik itu informal, formal, dan non formal. Dalam sistem pendidikan nasional yang intinya mempunyai tujuan yang mengejar IPTEK dan IMTAQ. Di bidang sosial, dapat dilihat pada suatu badan yang mengkoordinir dalam hal mengentaskan kemiskinan, dimana hal-hal ini sesuasi dengan butir-butir Pancasila. Kita harus menghormati dan menghargai hasil karya orang lain, hemat berarti pengeluaran sesuai dengan kebutuhan.
3. Aksiologi
Aksiologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki nilai-nilai. Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar Negara memilki nilai-nilai : Ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai ideal , material, spiritual, dan nilai positif dan nilai logis, estetika, etis, sosial dan religious. Jadi Pancasila mempunyai nilai-nilai tersendiri.
a. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
Percaya pada Allah merupakan hal yang paling utama dalam ajaran Islam. Dilihat dari segi pendidikan, sejak dari kanak-kanak sampai perguruan tinggi, diberikan pelajaran agama dalam hal ini
merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional.
b. Sila kedua, Kemanusian yang Adil dan Beradab
Dalam kehidupan umat Islam, setiap muslim yang datang kemasjid untuk shalat berjamaah berhak berdiri di depan dengan tidak membedakan keturunan, ras, dan kedudukan : dimata Allah sama, kecuali ketakwaan seseorang. Inilah sebagian kecil contoh nilai-nilai Pancasila yang ada dalam kehidupan umat Islam.
c. Sila ketiga, Persatuan Indonesia
Islam mengajarkan supaya bersatu dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Mengajarkan untuk taat pada pemimpin. Di dalam pendidikan, jika kita ingin berhasil, kita harus berkorban demi tercapainya tujuan yang didambakan. Yang jelas warga Negara punya tanggung jawab untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ini. Bercerai berai kita runtuh, bersatu kita teguh.
d. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Jauh sebelum islam datang, di Indonesia sudah ada sikap gotong royong dan musyawarah. Dengan datangnya Islam, sikap ini lebih diperkuat lagi dengan keterangan Al Quran. Di dalamnya juga diterangkan bahwa dalam hasil musyawarah dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan dipertanggungjawabkan secara moral kepada Allah SWT.
e. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Adil berarti seimbang antara hak dan kewajiban. Dalam segi pendidikan, adil itu seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama di mana ilmu agama adalah subsistem dari sistem pendidikan nasional.
Mengembangkan perbuatan yang luhur, menghormati hak orang lain, suka memberi pertolongan, bersikap hemat, suka bekerja, menghargai hasil karya orang lain dan bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial. Dengan berdasarkan butir-butir dari sila kelima ini, kita dapat mengetahui bahwa nilai-nilai yang ada pada sila kelima ini telah ada sebelum Islam datang. Nilai-nilai ini sudah menjadi darah daging dan telah diamalkan di Indonesia. Filsafat Pendidikan Pancasila adalah tuntutan formal yang fungsional dari kedudukan dan fungsi dasar Negara Pancasila
sebagai Sistem Kenegaraan Republik Indonesia. Kesadaran memiliki dan mewarisi sistem kenegaraan Pancasila adalah dasar pengamalan dan pelestariannya, sedangkan jaminan utamanya ialah subjek manusia Indonesia seutuhnya. Subjek manusia Indonesia seutuhnya ini terbina melalui sistem pendidikan nasional yang dijiwai oleh filsafat pendidikan Pancasila.
Filsafat Pendidikan Peningkatan Sumber Daya Manusia
A. Filsafat Pendidikan dan Kepribadian
Dalam pengertian sederhana, filsafat diartikan sebagai kepribadian jatidiri dan pandangan hidup seseorang, masyarakat atau bangsa. Kondisi ini dibentuk oleh tradisi kehidupan masyarakat ataupun
oleh usaha yang terprogram.
Namun demikian, sesederhana apapun, pembentukan itu tak lepas dari peran pendidikan. Pendidikan menurut Hasan Langgulung, pada prinsipnya dapat dilihat dari dua sudut pandang: individu dan masyarakat (Hasan Langgulung, 1986:38).
Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk membimbing dan menghubungkan potensi individu. Sementara dari sudut pandang kemasyarakat, pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi tua ke generasi muda agar nialai-nilai budaya tersebut tetap terpelihara. Dalam kontek ini dapat dilihat hubungan antara pendidikan dengan tradisi budaya dan kepribadian suatu masyarakat betapapun sederhananya masyarakat itu.
Transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses pendidikan. Dalam masyarakat modern, proses pendidikan tersebut didasarkan pada suatu sistem yang sengaja dirancang sebagai program pendidikan secara formal. Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraannya dibentuk kelembagaan pendidikan formal.
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu pengembangan potensi individu dan pewarisan-pewarisan nilai-nilai budaya. Kedua hal ini berkaitan erat dengan pandangan hidup satu masyarakat atau bangsa itu masingmasing. Dengan kata lain, sistem pendidikan bagaimanapun sederhana mengandung karakteristik tentang jati diri atau pandangan hidup masyarakat atau bangsa yang membuatnya.
Bangsa Indonesia yang memiliki filsafat dan pandangan hidup tersendiri, yaitu Pancasila. Pandangan hidup ini dengan sendirinya menjadi dasar dan sekaligus tujuan sistem pendidikan nasional. Dengan
kata lain sistem pendidikan nasional disusun atas dasar filsafat pendidikan Pancasila. Sebab filsafat pendidikan merupakan ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam
usaha pemikiran dan pemecahan masalah-masalah pendidikan (Imam Barnadib, 1986:5).
Bila pendidikan dikembalikan pada fungsinya sebagai usaha untuk mengembangkan potensi individu dan sekaligus sebagai usaha untuk mewariskan nilai-nilai budaya, maka pendidikan juga menyangkut
pembentukan kepribadian. Pendidikan berkaitan dengan usaha untuk mengubah sikap dan tingkah laku. Sedangkan kepribadian berhubungan dengan pola tingkah laku.
Setidak-tidaknya, kepribadian dapat dilihat dari empat aspek muatannya. Pertama, aspek personalia, yaitu kepribadian dilihat dari pola tingkah laku lahir dan batin yang dimiliki seseorang. Kedua, aspek
individualisme, yakni karakteristik atau sifat-sifat khas yang dimiliki seseorang, hingga dengan adanya sifat-sifat ini seseorang secara individu berbeda dengan individu lainnya. Ketiga, aspek mentalitas, sebagai perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir. Mentalitas sebagai gambaran pola pikir seseorang. Keempat, aspek identitas, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempertahankan sikap dirinya dari pengaruh luar. Identitas merupakan karakteristik yang menggambarkan jati diri seseorang.
Berdasarkan keempat aspek tersebut, terlihat bagaimana hubungan antara pendidikan dan pembentukan kepribadian, dan hubungannya dengan filsafat pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai budaya sebagai pandangan hidup suatu bangsa.
B. Filsafat Pendidikan dan Sumber Daya Manusia
Dari sudut pandang potensi yang dimiliki itu, manusia dinamakan dengan berbagai sebutan. Dilihat dari potensi inteleknya manusia disebut homo intelectus. Manusia juga disebut homo faber, karena manusia memiliki kemampuan untuk membuat beragam barang atau peralatan. Kemudian manusia pun disebut sebagai homo sacinss atau homo saciale abima, karena manusia adalah makluk bermasyarakat. Di lain pihak, manusia juga memiliki kemampuan merasai, mengerti, membedabedakan, kearifan, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Atas dasar adanya kemampuan tersebut, manusia disebut homo sapiens (K. Prent, CM, J. Adisubrata, W.M. Poerwadarminta, 1969: 322-764).
Filsafat pendidikan, seperti dikemukakan Imam Barnadib, disusun atas dua pendekatan. Pendekatan pertama bahwa filsafat pendidikan diartikan sebagai aliran yang didasarkan pada pandangan filosofis tokohtokoh tertentu. Sedangkan pandangan kedua adalah usaha untuk menemukan jawaban dari pendidikan beserta problema-problema yang ada yang memerlukan tinjauan filosofis (Imam Barnadib: 7).
Dari pendekatan pertama, terkait dengan kualitas potensi manusia, terdapat tiga aliran filsafat. Pertama, aliran naturalisme, yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi bawaan (natur) yang dapat berkembang secara alami, tanpa memerlukan bimbingan dari luar (lingkungan). Secara alami manusia akan bertambah dan berkembang sesuai dengan kodratnya masing-masing. Tokoh aliran ini adalah Jean Jacques Rosseau.
Kedua, aliran empirisme. Menurut aliran ini, manusia tumbuh dan berkembang atas bantuan atau karena adanya intervensi lingkungan. Tanpa ada pengaruh luar, manusia tidak akan berkembang. Manusia dianggap sebagai mahluk pasif tanpa potensi bawaan. Manusia ditentukan bagaimana lingkungan mempengaruhinya. Jika lingkungan baik maka akan menjadi baik. Sebaliknya jika lingkungan buruk manusia akan menjadi buruk pula. Tokoh aliran ini adalah Schopenhauer.
Ketiga aliran Konvergensi, yang memiliki pandangan gabungan antara naturalisme dan empirisme. Menurut aliran ini manusia secara kodrati telah dianugrahi potensi yang disebut bakat. Namun agar potensi itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik perlu adanya pengaruh dari luar berupa tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan. Bakat hanyalah kemampuan atau potensi dasar. Pertumbuhan dan perkembangan tergantung dari pemeliharaan atau pengaruh lingkungan. Tokoh aliran ini adalah John Locke.
Ketiga aliran tersebut kemudian menjadi dasar pemikiran tentang manusia dalam kaitan dengan problema pendidikan. Namun, Kohnstamm menambah faktor kesadaran sebagai faktor keempat. Dengan demikian, menurutnya, selain faktor dasar (natur) dan faktor ajar (empiri), yang kemudian dikovergensikan, masih perlu adanya faktor kesadaran individu.
Daftar Pustaka